Translate

Sunday, February 22, 2015

Terima Kasih I Love Aceh

Mungkin jika bukan dari keputusan singkat saat itu, saya masih jadi sama. Hanya seorang anak mahasiswa yang berlabelkan kupu-kupu alias kuliah pulang kuliah pulang. Serta juga tak lebih dari seorang anak teras kos-kosan yang menghabiskan waktu di pojokan kamar karena cintanya yang tak kunjung sampai.


Empat hari lalu adalah waktu dimana saya kembali harus mengambil salah satu keputusan tersulit. Walau tidak sesulit keputusan yang saya ambil hampir 3 tahun silam di kamar nomor 25 kos-kosan saya yang kemudian telah banyak merubah alur hidup di kota yang baru pertama kali saya jejaki.

Kamis, 19 Februari 2015 saya memutuskan untuk menarik diri dari keanggotaan saya sebagai ILATeam Management yang telah banyak memberikan pengalaman dan pembelajaran yang tak ternilai. Serta komunitas I Love Aceh yang juga menjadi wadah untuk saya berkarya, bersosialisasi dan mengaktualisasi diri.
Di sisi lainnya, banyak sekali yang bertanya-tanya akan keputusan saya yang terkesan tiba-tiba sampai muncul analogi lama "tidak ada hujan, petir atau gledek yang mendasari munculnya keputusan tersebut". Namun jika kalian ingin membaca surat ini karena hanya ingin mencari jawaban tersebut, sayang sekali disini bukan tempatnya.

Karena sesungguhnya surat ini hanyalah expand dari beberapa poin di caption postingan saya di media sosial tentang ucapan terima kasih saya kepada I Love Aceh setelah berpetualang hampir 3 tahun menjaga eksistensi ditengah ramainya orang yang ber-selfie. Nahlo
1) Makna I Love Aceh sebenarnya
Hampir 5 tahun lalu saya adalah pendatang baru di model kota madani, Banda Aceh. Berstatuskan mahasiswa yang mengakhiri jenjang sekolah di kota tetangga yaitu Medan. Perbedaan kebiasaan, gaya hidup, budaya dan bahasa sempat menjadi tantangan tersulit bagi saya kala itu. Mungkin juga bagi anak-anak perantauan lainnya yang mana dulu berstatuskan seorang anak metropolitan di kotanya. Kita bisa sebut ini jenjang adaptasi.

Pengalaman adaptasi tersebut membuat saya tidak heran lagi ketika mendengar ada yang bilang "suntuk kali wak di Aceh/Banda Aceh ini" atau ada versi lainnya "gak tau awak mau ngapain di Aceh/Banda Aceh ini" atau ada lagi versi frontalnya sampe sebut-sebut nama bunda Illiza minta dibuatin bioskop. (Haha ampun ampun. Kalau bioskop saya juga setuju). Saya hanya bisa tersenyum mendengar ucapan-ucapan tersebut.

Hal itulah yang mendasari saya mengatakan, lewat I Love Aceh saya bisa mengetahui kalau banyak hal di Aceh ini yang bisa kita nikmati dan syukuri atas setiap local wisdom dan estetika yang ada. Bukan mengeluh atas kekurangan yang ada. Kesenian, Adat & budaya, keindahan alam serta eratnya rasa silaturahmi dibangun dalam lingkaran komunitas yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Hal-hal tersebut memberikan makna I Love Aceh sebenarnya kepada saya.

2) Pengalaman dan Kesempatan Berkarya
Kurun hampir tiga tahun bukan waktu yang singkat bagi saya diberikan kesempatan untuk berkarya dan aktualisasi diri. Atau ajang pembuktian diri atas setiap omongan orang yang mengatakan saya tidak bisa survive di kota yang kala itu masih asing bagi saya.

Bergabung di I Love Aceh adalah kesempatan dan pengalaman luar biasa. Dimana saya bisa merasakan bagaimana lelahnya jiwa dan raga 24 jam mengelola akun media sosial terbesar di Aceh. Yang mungkin menurut kalian adalah hal yang mengasyikan membalas mention masuk daripada harus membalas chat pacar kamu yang sedang ngomel/ngambek. Saya sarankan jangan pernah untuk coba-coba berfikiran seperti itu.

Mencoba adil disetiap postingan, berbagi waktu antara aktivitas maya dan nyata, menahan rasa emosi pribadi melihat segala macam isi mention, duduk berjam-jam didepan laptop, terbangun saat tidur hanya karena ada yang #URGENT butuh darah merupakan beberapa rintangan yang harus dihadapi. Hingga yang lawak disaat disaat tengah malam kalian mengirimkan foto Mie Aceh Kepiting lalu kami hanya bisa menahan air liur atau mengelapnya dengan mie instan yang sudah disedu air panas. Disitu kadang kami merasa sedih.

Filosofi "Social Media to Social Movement" yang diterapkan, secara tidak langsung berpengaruh banyak terhadap Skill public speaking saya karena harus berinteraksi langsung dengan fenomena yang ada. Pengalaman menghadapi dan menyelesaikan masalah yang ada di dalam manajemen perusahaan. Mengelola acara, jurnalistik, serta banyak pengalaman luar biasa lainnya selama berada di I Love Aceh.

3) Orang-Orang Hebat
Tentu saja, juga karena I Love Aceh lah saya bisa berkesempatan bertemu dengan orang-orang hebat yang ada di muka bumi ini. Baik itu yang di Aceh ataupun datang dari luar Aceh. Kawan-kawan yang tergabung dalam lintas komunitas yang datang dari segala frame baik itu seni, fotografi, sastra, lingkungan, pendidikan dan lainnya. Serta semua sosok yang menginspirasi dan memberikan pelajaran berharga.

Berkenalan dan belajar dengan kawan-kawan komunitas dari segala frame, menyadarkan saya jikalau komunitas adalah tempat orang-orang yang aktif karena kecintaannya terhadap suatu bidang. Mereka yang rela merogoh koceknya sendiri demi kelangsungan hidup komunitas. Atau sekalipun rela pasang badan demi terjaganya nama baik komunitas tempat dia bernaung.

Semoga I Love Aceh dan ILATeam terus bisa menjaga tali silaturahmi antar komunitas yang ada di Aceh.

4) Mimpi-Mimpi Terliar
Terwujudnya mimpi-mimpi terliar yang mungkin hanya akan ada dalam bingkai mimpi jika saya tidak bergabung dengan I Love Aceh.

Setengah dasawarsa lalu, tak pernah terfikirkan oleh saya apakah suatu saat suara saya akan bisa didengar dalam jaringan frekuensi. Tapi Alhamdulillah tidak disangka-sangka saya malah bisa on air via phone di FeMale radio Jakarta yang langsung dihubungi oleh Marcella Lumowa dan penyiar FeMale radio lainnya yang juga berstatus seleb ibukota. 

Berbicara lewat phone saja saya tidak pernah menduga, apalagi bertemu dan ngobrol langsung dengan mereka artis dan tokoh ibukota. Semua terjadi terjadi ketika saya bisa bertemu dan menjalin silaturahmi dengan Jono GBS & Kak Anyak, Nicholas Saputra, Cutnyak Niken, bang Teuku Wisnu, kak Wulan Guritno, mas Pandji Pragiwaksono, mas Marsha Manopo & kak Shinta Rosari serta banyak lainnya yang selama ini hanya bisa saya liat di layar televisi. Kini beberapa malah sudah saling japri.

Terakhir, bertemu dan berkerja sama langsung dengan crew-crew televisi seperti kak Reni & kak Nadia (Trans Corp), kak Upun dkk (Net TV), Mas Adit (RTV) dll adalah kesempatan dan pengalaman luar biasa bagi saya lagi-lagi untuk belajar dari mereka. Sampai akhirnya mereka memberi kesempatan untuk saya bisa melihat wajah sendiri di televisi, mulai dari lokal hingga nasional.

Masih banyak lagi hal-hal luar biasa lainnya yang saya dapatkan di I Love Aceh. Namun itu semua bukanlah hal instan yang bisa kamu dapatkan langsung saat bergabung di I Love Aceh. Semua butuh proses. Dan proses itu akan berjalan bila kamu mau belajar, berkarya dan tunjukan potensi diri. Jangan cepat bilang 'Aku gak bisa'. Semua orang bisa asal dia mau!

Intinya berkarya tidak sesulit yang kita bayangkan. Menulis dengan tumpukan bantal dikepala seperti ini juga adalah sebuah karya. Jangan membayangkan terlalu banyak hal besar jika yang kecil saja belum kamu lakukan.

23 Februari 2015 mungkin adalah waktu yang tepat. Tak hanya ucapan terima kasih saya, tapi juga pribadi ingin mengajak semuanya mengucapkan terima kasih kepada I Love Aceh yang selama ini telah banyak berperan positif bagi rakan #ATwitLovers maupun Aceh secara keseluruhan.

"Karena rasa saling menghargai jauh lebih bernilai dari penghargaan apapun"

Tulisan ini saya persembahkan untuk I Love Aceh yang hari ini berulang tahun ke-5. Terima kasih sebesar-besarnya atas kepercayaan dan kesempatannya. Rasa bangga pernah menjadi bagian dari I Love Aceh. Dan doa saya semoga di usia yang baru ini I Love Aceh bisa terus berkembang dan sukses seperti apa yang pernah di cita-citakan, kedepannya bersama ILATeam generasi berikutnya. Amin.

Baca juga: Menguak Tabir Akun Nomor 1 di Aceh

2 comments: