Translate

Sunday, May 17, 2015

Menembus Keindahan Alami di Air Terjun Peucari


Selamat datang di indahnya Aceh
Letaknya sama-sama di pusat kota Jantho, Aceh Besar. Bukan, tapi ini bukan bukit jalin. Ini air terjun yang konon katanya masih belum banyak dikunjungi oleh banyak orang alias belum mainstream. Dan perjalanan ke air terjun ini jauh lebih melelahkan + ekstrim dibandingkan ke bukit jalin. Ah masa’ sih? Gak percaya? Yaudah sebelum pergi, yok readers simak dulu ceritanya..

“Yuk besok ke air terjun peucari!” ajak kawan saya via jejaring Whatsapp. Nama yang terdengar tidak cukup asing di telinga karena sekilas terdengar seperti sebuah minuman ion pengganti cairan tubuh. Padahal jika diartikan dalam bahasa Aceh, peucari bisa berarti ‘cari apa’ (peu: apa / cari: cari).

Teman saya yang akrab saya sapa pakde kembali menjelaskan sedikit gambaran tentang perjalanan menuju air terjun peucari yang dia telusuri di Instagram. “Dari Banda Aceh ke Jantho = 1 jam, dari parkiran motor ke air terjun, tracking ± 2 jam), tambahnya. Spontan saya pun dengan cepat membalas “siap, lagi kepengen tracking juga nih”. Pakde menutup “meet-up di Dhapu kupi ya pagi jam 8”. Begitulah isi janjian chat anak gaul yang mau weekend.

Pagi menjelang, kopi pagi pun bersulang. Sambil mengisi perut dengan sedikit asupan energi, perbincangan alot pun tak terelakkan. Termasuk obrolan yang membuat saya geli-geli sendiri. Karena cerita beberapa dari mereka yang sudah pernah pergi kesana sebelumnya, pacet atau lintah akan tak jarang menempel di kaki saat menembus hutan dan sungai. Mending di kaki, kalau sempat naik ke atas lagi, kan gak lucu bisa ada dua lintah yang nempel. “Ah sudahlah, namanya juga tantangan”, gumam saya dalam hati sambil menghibur diri.

Sekitar pukul 10.00 WIB kami baru mulai bergerak menuju Jantho, ibukota kabupaten Aceh Besar. Namun sebelum benar-benar sampai, apabila menuju arah Jantho, kami selalu singgah di Samahani untuk mengisi bekal dengan beberapa potong roti selai Samahani yang mangat that.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam, akhirnya kami sampai di pemukiman warga desa. Disini menjadi titik terakhir kami menggunakan motor alias parkir. Tak lama berselang, seorang pemuda gampong menghampiri kami. Pemuda tersebut sedikit panjang menjelaskan peraturan yang telah dikeluarkan oleh geuchik. Yaitu apabila ingin sampai disana, kami harus mengeluarkan kocek Rp.200.000. Uang tersebut sudah masuk jasa guide yang langsung dipandu olehnya. Dan sebelum kalian bertanya dan mencari tau di paragraf selanjutnya apakah perempuan diperbolehkan untuk pergi kesana, saya akan menjawab “diperbolehkan, asal siap”.

Motor sudah kami parkirkan, pertanda perjalanan akan segera dimulai. Saat itu waktu menunjukan pukul 12.05 WIB. Pemuda gampong yang memandu kami pun menyampaikan sedikit aturan dan gambaran perjalanan. “Yang penting hati-hati, jangan takabur dan berdoa semoga selamat sampai nanti pulang. Insya Allah gak kenapa-kenapa” pesannya yang sudah saya translate dari bahasa Aceh. 

Here we goo! Dengan penuh semangat saya melangkahkan kaki dan memulai perjalanan ini. Tapi baru saja bergerak beberapa langkah, 1 anak sungai sudah menyambut dan seperti berkata “Sini basahin sepatu dan celananya. Mau main ke alam kok setelannya kayak ke mall?”. (elus dan cium sepasang sepatu yang akan basah).

Baru setengah jam perjalanan, nafas kalian sudah dipompa karena perjalanan naik dan turun dengan tanah bebatuan yang terjal. Dedaunan hijau dan pepohonan yang berbaris di pinggir bukit akan jadi suatu pemandangan nan eksotis memukau mata. Namun itu hanyalah pembuka dari perjalanan sesungguhnya yang sudah menunggu kamu beberapa saat lagi.

Selanjutnya, menyebrangi dan mengarungi sungai bebatuan, naik dan menuruni tebing yang licin nan curam sambil memegangi akar pohon yang cukup tangguh akan jadi narasi film Tarzan atau bisa jadi The Jungle Book. Dimana kamulah aktor utamanya selama ± 4 jam perjalanan (pergi dan pulang). Dalam perjalanan tersebut bahkan tak jarang kalian terjatuh dan basah karna salah menginjak batu yang licin, tergores karena salah memegang ranting pohon yang berduri atau terpeleset karena tanah yang licin. 

Semua hal itu akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan untuk kalian bersama teman-teman. Melihat teman terpeleset dan nyebur ke sungai, lalu ada yang kakinya keram dan tiduran di dinginnya air sungai adalah dilema tersendiri. Apakah saya harus sedih atau tertawa? Tenang, tentu saya akan menolongnya, tapi setelah saya selesai tertawa puas. 

Nah, saat berada tengah-tengah hutan, kamu akan merasakan bagaimana nikmatnya suasana alam yang masih sangat alami. Kicauan burung saling bersahutan, derus air yang tiada habisnya, cahaya matahari terus berjuang keras untuk menembus rimbunnya dedaunan yang menutupi, serta batang pohon yang saya prediksi usianya sudah bertahuh-tahun pun menunjukan kalau ia lelah lama berdiri tegak dan memilih tidur di ruas sungai yang membentang. 

Tanda tanya apakah air terjun peucari masih jauh terus muncul seiring dengan raga yang kian lelah. Kadang saya tak tahan menyimpannya dalam hati dan sesekali menanyakannya kepada abang pemandu “masih jauh bang?”, dengan santai ia menjawab “setengah jam lagi”. Kala itu waktu sudah menunjukan pukul 14.00 WIB yang artinya kami sudah berjalan selama kurang lebih 2 jam.

Hati yang selalu bertanya-tanya akan munculnya air terjun tersebut sepertinya mulai menemui titik deras (bukan titik terang), karena suara derus air semakin terdengar dekat dan kencang. Memberi tanda kalau air terjun tersebut sudah tidak jauh lagi. (hah, semoga ini bukan penghibur kaki yang lelah).

Ternyata semua pertanda tadi bukan harapan belaka yang sering diumbar oleh cewek yang terlanjur kita sayang (apa sih kok curhat di tengah hutan -_-). Kami benar-benar telah sampai di air terjun peucari. Wohooo rasa-rasanya saya ingin berteriak sekencang mungkin dan berkata “akhirnya anakmu sampai jugaaa maaak”.


Kamu bisa melakukan beberapa aktivitas di air terjun peucari, seperti mandi, foto-foto dan makan bersama. Tapi ingat gaees, setelah semua itu selesai dan kalian akan bergerak pulang, jangan lupa SAMPAH nya dibungkus dan dibawa pulang. Jangan ditinggal atau dibuang sembarangan. Kalau saya boleh milih, daripada sampahnya kalian tinggal atau buang ke air terjun, mending kalian saja yang saya tinggal atau buang ke air terjun. Bukannya sok apa gitu, tapi kita dan alam sama-sama saling membutuhkan. Jagalah alam, maka alam akan menjaga kita.

Sekitar pukul 16.00 WIB kami memutuskan untuk kembali. Walau seluruh badan ini masih sangat lelah, tapi apalah daya kami tetap harus pulang karena cuaca yang kian gelap dan gerimis yang mulai datang. Yang sabar ya kaki, ayo kita jalan lagi. (ciumin tapak kaki)

Sekitar pukul 17.45 kami telah sampai di salah satu bangunan yang memiliki 3 lantai. Disini kamu bisa sejenak beristirahat, dan menunggu datangnya sunset. Indahnya sunset menjadi menutup perjalanan yang melelahkan hari ini. Ah terima kasih Tuhan telah menciptakan mahakarya yang luar biasa ini. 


Dari bangunan ini ke parkiran sudah tidak jauh, sekitar 15 menit lagi. Kami pun bergegas pulang karena hari kian gelap. Satu jam perjalanan harus kami tempuh untuk sampai di kasur tercinta dan melupakan kalau ini adalah malam minggu. Dimana orang pergi ngopi atau kentjan tapi saya malah gelap-gelapan di tengah hutan. See you dan selamat mencoba!

5 comments:

  1. Bg nti kalau mau ke air terjunnya..kita dipandu sama pemandu ya ??

    ReplyDelete
  2. Ya, bayarnya Rp.200.000 untuk 16 orang ya. Kalau camping bayarnya Rp.500000

    ReplyDelete
  3. Itu dipandunya pergi dan pulang ya ?

    ReplyDelete
  4. terimakasih bg telah mempromosi tempat kami...
    risky,,, kami pandu pulang pergi sampai tujuan

    ReplyDelete
  5. untuk lebih jelas silahkan call 085207060404

    ReplyDelete