Translate

Wednesday, June 3, 2015

Media Sosial, Pemimpin dan Kasusnya di Banda Aceh



"The Power of Social Media is it Forces Necessary Change". Media sosial seharusnya bukan menjadi sebuah ketakutan, tapi dari media sosial banyak perubahan yang bisa dilakukan. Termasuk itu bagi pemimpin yang merasa terpanggil hatinya untuk melakukan perubahan.

Secara umum, media sosial diartikan sebagai media online dimana penggunanya bisa berpartisipasi, berbagi dan menciptakan kontennya masing-masing. Untuk penggunanya, di Indonesia sendiri pengguna media sosial terus berkembang pesat. Salah satu agensi marketing sosial ‘We are Social’ di awal 2015 merilis sebuah laporan tahunan mengenai data jumlah pengguna media sosial di Indonesia dimana Facebook dan Twitter menempati peringkat teratas pengguna social network terbanyak dan Whatsapp menjadi pilihan utama messenger / chat app. Tanpa mengabaikan media sosial lain yang penggunanya terus tumbuh di Indonesia seperti Instagram, Path, Blog, dll.

Entah apa yang mendasari terus meningkatnya pengguna media sosial di Indonesia. Dari beberapa orang yang saya temui, mereka berpendapat karena tingginya rasa sosial masyarakat Indonesia adalah penyebabnya serta beberapa lainnya mengatakan ‘Demokrasi’ yang bisa diartikan sebagai kebebasan berbicara atau partisipasi warga negara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka menjadi pemicu realita tersebut (Wikipedia). Hal itu ditambah fakta selarasnya antara pertumbuhan pengguna internet Indonesia dan dunia juga bisa jadi alasan dibalik semakin menjamurnya pengguna media sosial di Indonesia.

Dewasa kini, selain kodratnya sebagai tempat untuk berinteraksi dan berbagi, media sosial adalah tempat untuk masyarakat internet (netizen) melemparkan suaranya, baik itu secara vertical top-down (memberi informasi, mobilisasi dan mengarahkan anggota), vertical bottom-up (menyampaikan pendapat, kritik, saran, harapan) atau horizontal untuk diskusi, bertukar informasi dan musyawarah. Hingga yang paling klimaksnya adalah media sosial juga menjadi awal sebuah pergerakan/perlawanan yang bisa disebut ‘Social Media to Social Movement’.
 
“Social media spark a revelation that we, the people, have a voice, and through the democratization of content and ideas we can once again unite around common passions, inspire movements, and ignite change.” (Brian Solis)
Mengupas lebih jauh tentang pergerakan/perlawanan di media sosial, kita sudah mendengar beberapa kasus revolusi media sosial yang terjadi. Mari kilas balik dimana peran facebook, twitter dan jejaring sosial lainnya di Tunisia dalam memobilisasi massa untuk turun ke jalan saat penggulingan rezim Ben Ali, Februari 2011. Jangan lupakan juga negara Big Brother of the Arab Nations (Saudara Tua Bangsa-Bangsa Arab) yaitu Mesir yang menumpahkan kekesalannya di akun facebook ‘We are all Khaled Said’ dan juga tagar #jan25 di twitter. Kedua revolusi media sosial tersebut terjadi akibat dari kemiskinan, tingginya pengangguran, inflasi harga pangan,dll yang mendera masyarakat. Dimana pemimpin mereka seketika berubah menjadi penguasa, anti kritik dan menutup segala akses rakyatnya untuk bersuara, kecuali media sosial. 

“Aksi terjun ke lapangan/jalan adalah tindakan penting bagi sebuah revolusi”, sebut Anita Breur selaku ahli politik di lembaga Jerman Deutsches Institut fur Entwicklungshilfe (DIE).

Kedua kasus diatas adalah sedikit cerita dari sekian banyak revolusi social media yang pernah terjadi di Dunia. Namun faktanya, social media tidak melulu untuk menggulingkan sebuah takhta, social media juga menjadi alat (tools) bagi netizen untuk mengadiahi sanksi sosial kepada individu atau sekelompok orang. Sebab media sosial tidak pernah mengenal batas antara atas dan bawah, jadi tidak heran masyarakat sipil bisa dengan mudah memberikan sanksi sosial kepada pemimpinnya baik itu melalui kritikan hingga yang paling kasar adalah caci-makian.

Melirik beberapa kasus sanksi sosial di Indonesia yang lahir dari media sosial. Belum lama ini dan sangat popular ialah saat munculnya tagar #ShameOnYouSBY atas keputusan presiden RI ke-6 yang mengecewakan netizen Indonesia, atau #Coin4Abott yang sempat memicu perhatian netizen kedua belah negara (Indonesia-Australia) akibat statement Tony Abott yang dianggap melukai hati masyarakat Aceh. Hingga yang kocak dan penuh lelucon adalah #SaveHajiLulung. Ketiga kasus tersebut sempat menjadi trending pembicaraan pengguna media sosial dan terus berkembang di linimasa twitter.

Saat media cetak sudah diawasi oleh suatu rezim, maka media sosial adalah tempat terbaik dimana setiap tingkatan elemen masyarakat bisa bebas bersuara. Jika dikaji, media sosial bukanlah pemicu aksi protes. Justru yang menyebabkan protes luas adalah rasa kecewa masyarakat akan pengangguran, kemiskinan dan korupsi, serta fenomena sosial lainnya. Rasanya tidak ada yang patut dipersalahkan akan sebuah isu yang trending bahkan bertahan lama jikalau memang isu tersebut layak untuk dibicarakan. Seperti halnya iklan yang berseliweran di media sosial, netizen sudah cukup pintar dalam mengambil tindakan untuk menangkap atau mengabaikan konten yang penting atau tidak penting.

Banyak pemimpin yang sudah menyadari potensi media sosial sebagai media komunikasi. Hingga semakin banyak pemerintahan yang sekarang harus mengawasi penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Bahkan tak heran banyak tokoh pemimpin rela blusukan ke beberapa lini media sosial, baik itu dikelola langsung atau dibantu oleh staff demi mengontrol pengguna media sosial yang sekarang kian berani bersuara untuk mengawasi dan menindas perlawanan politik.

Namun juga patut diingat, bahwa aksi “social media to social movement” tidak melulu harus ke arah yang ekstrim, tapi juga bisa kearah yang positif seperti halnya ‘Sanger Day’ atau Hari Sanger di Aceh yang diperingati setiap tanggal 12 Oktober. Sanger Day mengajak pengguna media sosial di Aceh memperkenalkan minuman khas Aceh tersebut secara luas di media sosial. Serta banyak pergerakan positif lain seperti sosok Nurjannah Husein yang memanfaatkan media sosial untuk mencari darah bagi penderita Thalassemia di Aceh.

Media Sosial untuk Pemimpin

Sudah masuknya kita di era revolusi social media menjadi sinyal bahwa seorang tokoh/petinggi/pemimpin haruslah berani terjun ke media sosial, apapun latar belakangnya. Kita bisa melihat bagaimana media sosial juga memainkan peranan penting dalam sebuah kepemimpinan dan bagaimana pemimpin menunjukan keterampilannya dalam memanfaatkan peranan media sosial. Namun tidak jarang, pemimpin menganggap media sosial sebagai media yang mengancam produktivitas, beresiko, dan sekadar membuang-buang waktu.

Menurut Deiser dan Newton, setidaknya ada 6 (enam) indikator yang harus diperhatikan seorang pemimpin untuk sukses memainkan keterampilannya di media sosial :

1)     The Leader as Produser
Pemimpin bisa memanfaatkan media sosial sebagai media untuk membagikan konten-konten menarik, entah bagi tim, staff, maupun konsumen. Mereka bisa membagikan aneka konten dalam rupa-rupa media sosial agar lebih mudah ditangkap oleh audiens. Namun pemimpin dalam hal ini harus tau betul konsekuensi ketika terjun ke media sosial. Dimana pemimpin harus memiliki sikap dasar keterbukaan dan kesadaran akan ketidaksempurnaan.

2)     The Leader as Distributor
Berperan sebagai distributor, pemimpin haruslah bisa memahami dinamika lintas platform media sosial. Hal-hal positif dan membangun kemudian ia sharing-kan ke banyak pihak melalui kanal-kanal yang ada. Selain itu pemimpin harus bisa menciptakan dan mempertahankan komunitas followers-nya.

3)     The Leader as Recipient
Pemimpin harus bisa menyampaikan pesan-pesan positif melalui reply maupun linking secara selektif. Selain itu pemimpin harus memiliki skill dalam menyaring tema percakapan tertentu.

4)     The Leader as Adviser and Orchestrator
Pemimpin harus bisa menggerakan dan mendukung semua komunitas dan penggunaan media sosial.

5)     The Leader as Architect
Pemimpin sebaiknya memiliki kemampuan untuk mengembangkan media sosial untuk segala aspek fungsional kepemimpinannya.

6)     The Leader as Analyst
Pemimpin sebaiknya bisa melihat secara makro, memantau dinamika industri media sosial. Selain itu pemimpin juga harus bisa memahami dampak kultural teknologi, termasuk pada perilaku konsumen.
Enam poin yang menjadi indikator keterampilan seorang pemimpin di media sosial tersebut membuktikan bahwa kesalahan besar apabila media sosial hanya dilihat dari sisi life-style. Sebab bila dikelola dengan baik, media sosial memiliki banyak manfaat bagi seorang pemimpin.
Walikota Banda Aceh Hj. Illiza Sa’aduddin Djamal pernah mengatakan bahwa media sosial seharusnya dimanfaatkan sebagai tempat untuk berdakwah bukan untuk bergosip/ghibah.

Sejauh mana pemanfaatan media sosial oleh ibunda Illiza dalam menjalankan dapuk kepemimpinannya? 

Hasil penelusuran saya, pemimpin kota Banda Aceh yang akrab disapa bunda Illiza oleh netizen hanya resmi terjun ke media sosial, yaitu Instagram. Bagi yang mengikuti akun Instagram @Illiza_Saaduddin, anda akan melihat bunda Illiza memanfaatkan Instagram untuk memposting foto-foto aktivitas yang dijalankannya selaku pemimpin nomor satu kota Banda Aceh.

Saat tulisan ini ditulis, pengikut akun Instagram bunda Illiza sudah menembus angka 17.900 followers serta 3403 postingan foto. Tak heran ratusan like dan puluhan komentar mengampiri setiap postingan foto beliau. Termasuk itu online shop yang menyuruh bunda untuk mengecek IG nya “cek IG kita bun”.

Namun pemimpin kota Banda Aceh tersebut tidak mengikuti jejak sukses walikota Bandung Ridwan Kamil yang juga sukses terjun ke ranah twitter dan facebook. Beberapa akun yang mengatasnamakan beliau sudah diklarifikasi bukan sebagai akun resmi bunda Illiza.

Sejauh mana efektivitas bunda Illiza memanfaatkan Instagram sebagai media dakwah?
Sesuai definisinya, Instagram adalah media daring berbagi foto instan. Namun, bisakah Instagram menjadi tool untuk berdakwah? Sekaligus menjauhkan terbentuknya kesan riya atau pencitraan? Sah-sah saja apabila Instagram digunakan sebagai media untuk bunda Illiza berdakwah asalkan sudah memiliki strategi yang tepat. Salah satunya dengan memposisikan diri jikalau dia adalah pemimpin sebuah kota, bukan masyarakat biasa.

Dari sudut pandang saya, bunda Illiza atau siapapun yang mengelola akun Instagram tersebut masihlah belum efektif memanfaatkan media sosial Instagram untuk berdakwah. Hal terkecil, lihat saja banyak foto yang tidak dibarengi dengan caption yang mumpuni atau bahkan seringkali tidak ada. Hal itu sangatlah disayangkan. Foto tanpa caption ibarat kamu hanya memamerkan sesuatu tanpa mau berinteraksi dengan followers yang notabene adalah masyarakatmu sendiri. Kesan riya atau pencitraan pun sulit untuk dielakkan ketika foto di-upload sedemikian banyak dalam waktu yang sama dan tanpa caption.

Bunda Illiza juga belum memanfaatkan Instagram sebagai media informatif dalam menyampaikan program-program yang dijalankan atau persuasif/mengajak followers-nya. Contoh: memberi tahu alasan kenapa Banda Aceh ditetapkan menjadi kota madani atau Islamic Cyber City (informatif), mengajak followers-nya untuk turun bersama-sama bergotong royong menjaga kebersihan kota dari sampah, mengingatkan followers-nya untuk menjunjung tinggi nilai Syariat Islam (persuasif), atau menghukum masyarakatnya yang berbuat salah dengan memberikan sanksi sosial di akun Instagram yang ia miliki.

Bisa diambil kesimpulan bahwa bunda Illiza hanya memanfaatkan Instagram sebagai album online untuk menyimpan dan memamerkan foto. Belum benar-benar dimanfaatkan untuk berdakwah dan sangat minim sekali melakukan interaksi dua arah kepada pengikutnya. Padahal esensi dari media sosial untuk pemimpin yang harus tercipta pertama sekali adalah interaksi dua arah. Disitulah jarak atau batasan antara pemimpin dan masyarakatnya terpangkas.

Sudah tepatkah keputusan bunda Illiza mengabaikan Twitter dalam menjalankan dapuk kepemimpinannya ? 

Melihat data di Indonesia, twitter memang masih mengangkangi instagram dalam angka jumlah pengguna terbanyak. Oleh karena itu juga seharusnya pemimpin berani terjun ke linimasa media sosial 140 karakter tersebut, termasuk bunda Illiza selaku walikota Banda Aceh.

Yang pertama, bagi seorang pemimpin, twitter sangat berguna dalam mendengar aspirasi masyarakat yang masuk, baik itu informasi, keluhan, kritik, dan saran. Hingga memantau aktivitas masyarakat kota-nya. Berangkat dari situ, pemimpin juga lebih mudah mengetahui permasalahan yang terjadi dalam kotanya dan sesegera mungkin mengambil tindakan. “Jika diibaratkan, Twitter adalah pesawat”, mungkin seperti itulah peran twitter bagi walikota Bandung Ridwan Kamil. 

Hal tersebut menjadi lebih baik apabila pemimpin ikut menginstruksikan bagi setiap lini pemerintahan untuk mengaktifkan twitter. Dengan itu tentu pemimpin akan lebih mudah mengarahkan masyarakat untuk menyampaikan setiap permasalahan yang ia temui di kotanya ke akun twitter terkait. Namun ingat, hal itu harus dibarengi dengan kesiapan menanggapi permasalahan, baik melalui online terdahulu (merespon mention yang masuk) hingga langsung terjun ke lapangan untuk menyelesaikan masalah yang ada. Nah, akan menjadi blunder jika hal itu terjadi sebaliknya. Dari sini kita bisa melihat manfaat twitter sebagai tempat untuk pemimpin lebih dekat dengan masyarakat dan mengoptimalkan kualitas pelayanan publik di setiap lini pemerintahan.

Yang kedua, jika tadi indikator menurut bunda Illiza media sosial adalah untuk berdakwah, twitter jauh lebih viral ketimbang instagram dalam fungsinya sebagai media dakwah. Banyak ustadz yang sering terlihat di televisi juga ikut berekspansi ke twitter untuk berdakwah. Twitter sangat berpotensi untuk bunda Illiza berdakwah. Misal: mengingatkan masyarakatnya untuk menjunjung tinggi nilai Syariat Islam yang berlaku, menjaga kebersihan dan keindahan kota atau berjualan online shop di warung kopi (ahaha becanda)

Ketiga, dengan twitter bunda Illiza bisa ikut berpartisipasi mempromosikan pariwisata Banda Aceh sebagai World Islamic Tourism, dan yang paling penting adalah memperkenalkan serta mem-branding konsep kota madani yang ia terapkan di Banda Aceh. Sebab tidak semua orang bahkan masyarakatnya sendiri tau apa itu masyarakat madani dan konsep madani seperti apa yang diterapkan bunda Illiza di kota Banda Aceh.

Keempat, dengan twitter bunda Illiza selaku pemimpin kota Banda Aceh bisa berinteraksi secara cepat dan praktis dengan masyarakatnya. Menjaga silaturahmi serta keakraban dan menghilangkan gap yang terbentuk antara pemimpin dan masyarakatnya.

Yang terakhir, akan banyak manfaat lainnya dengan turunnya pemimpin ke ranah twitter seperti meredam isu-isu yang beredar, transparansi, dan lain-lainya yang mungkin kita bisa sedikit melirik kesuksesan bapak walikota Bandung, Ridwan Kamil dalam memainkan peran sebagai tokoh media sosial.

Menarik kesimpulan, tentu akan lebih baik jika bunda Illiza berani terjun ke jejaring sosial si burung biru ini, konten yang disampaikan akan lebih cepat menyebar akibat dari efek viral yang dihasilkan oleh fungsi ‘retweet’. Namun twitter juga akan berdampak sangat buruk jika tokoh tersebut tidak jeli dan ciamik memainkan keterampilannya di media sosial Twitter. Seperti efek kritik yang menjadi snow ball akibat dari keputusan atau kebijakan yang dianggap tidak tepat.

Kebayang kan bagaimana serunya kalau bunda Illiza memiliki twitter? Bakal kencang tuh naik followers-nya. Bunda Illiza kan sudah cukup populer di jagat linimasa twitter. Hehehe.

Media Sosial dan Fenomena di Banda Aceh

Tulisan ini berangkat dari pengalaman saya mengelola akun media sosial terbesar di Aceh selama hampir 3 tahun, terkhusus twitter. Kegelisahan saya melihat banyak sekali aspirasi netizen masyarakat kota madani yang ingin menyampaikan aspirasinya, baik itu informasi, pendapat, ide, saran, keluhan, pujian, ataupun kritik ke pemimpin, tapi tidak benar-benar bisa tersampaikan ke bunda Illiza.

Bayangkan saja, bagaimana Anda tidak gelisah saat melihat keluhan netizen soal air PDAM yang tidak mengalir kerumah berhari-hari, jalan yang berlubang, pembuangan sampah, banjir, balapan liar, pengemis yang berkeliaran, rusaknya fasilitas publik, hingga isu yang paling bunda senangi seperti khamar, maisir dan khalwat akan mudah ia temukan dari informasi yang disampaikan oleh netizen.

Entah apa alasannya, kenapa pemimpin kota Banda Aceh ini enggan blusukan di linimasa twitter. Ghibah, gosip, membuang-buang waktu mungkin bisa menjadi alasan. Malah ada yang nyeletuk “Mana mungkin ibu-ibu main twitter”, sebut seorang teman saya. Yang kemudian memukul logika terendah saya “bisa jadi, bisa jadi”. Lalu akal sehat saya berontak “Semua orang bisa jika dia memang berniat peduli dengan masyarakatnya”.

Jika anda salah satu user yang aktif di twitter, seluruh cakupan aspirasi yang disampaikan oleh netizen tersebut bukanlah tanpa alasan, melainkan kecintaan dan kepedulian mereka terhadap kotanya. Keinginan agar pemimpin bisa lebih melek dengan segala permasalahan yang ada dan secepat mungkin menemukan solusinya. Kurang beruntung apalagi coba bunda Illiza memiliki masyarakat yang peduli akan pemimpin dan kotanya?

Tidak jarang nama bunda Illiza, sapaan kesayangan para netizen selalu dikicaukan tanpa pernah bosan. Bahkan pernah ada netizen kompak menghembuskan tagar #BundaIlliza yang mana isinya adalah keinginan mereka untuk bunda ikut main twitter juga seperti mereka. Tapi apa? Hasilnya adalah nihil, ibarat anjing menggonggong khafilah berlalu.

Bagi tweetizen di Banda Aceh, Twitter dan linimasa ini mungkin adalah meja kopi dunia maya. Tidak ada pandang bulu, kita menikmati kopi yang sama. Oleh karena itu, tweetizen menginginkan sekali bunda hadir di meja kopinya untuk bisa mendengar seluruh aspirasi masyarakat kota Banda Aceh.

Melihat tingginya keinginan netizen kota Banda Aceh untuk Bunda Illiza mengikuti jejak sukses Ridwan Kamil di Twitter, sempat memacu saya untuk memperjuangkan aspirasi tersebut. Berkali-kali saya mengirimkan pesan teks kepada ajudan bunda Illiza, tapi responnya selalu berakhir mengecewakan. Bahkan ide tersebut sudah saya tulis di sebuah proposal untuk saya paparkan ke bunda Illiza. Namun keinginan tersebut belum menemui hasil, karena sulitnya beraudiensi dengan orang nomor satu kota Banda Aceh ini.

Ketika untuk audiensi sulit dan bersuara di twitter juga tidak terdengar, lalu masyarakat Banda Aceh harus bagaimana untuk mengadu kepada pemimpin kotanya? Wajar saja kan masyarakat mengadu kepada pemimpinnya. Dari situlah saya sangat berharap pemimpin kota Banda Aceh yaitu bunda Illiza untuk mau aktif di media sosial terkhusus twitter. Dan dari twitter kita bisa mengimplementasikan ‘Social Media to Social Movement’, menciptakan ruang publik di kota Banda Aceh untuk berdiskusi, bersinergi dengan pemimpinnya secara rutin. Jadi, planning hingga controlling kebijakan kota bisa dilakukan bersama-sama oleh pemimpin dan masyarakat.

Didukung dengan prestasi Pemko Banda Aceh yang dua tahun berturut memenangi penghargaan IDSA (Indonesia Digital Society Awards), tahun 2014 dan 2015 yang salah satunya terkait dengan pelayanan publik. Lalu label ‘Banda Aceh Islamic Cyber City” yang dipatenkan oleh bunda Illiza, menjamurnya pengguna media sosial di Banda Aceh seharusnya menjadi dasar bunda Illiza untuk go Twitter. Tunggu apalagi bunda?

Biar selaras dengan konsep madani yang ditetapkan oleh bunda Illiza, yuk kita bahas sedikit bagaimana manfaat media sosial terhadap konsep masyarakat madani?  Apakah sesuai? Untuk mensinergikan manfaat media sosial dengan konsep masyarakat madani, mari kita lihat beberapa poin dibawah ini:
Unsur-unsur pokok yang harus dimiliki oleh masyarakat madani (Wikipedia) :
1)     Kontrol, adanya kontrol masyarakat dalam pemerintahan.
2)     Demokrasi, menyadari hak-hak dan kewajiban dalam menyuarakan pendapat; pemerintah memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya.
3)     Public shere, tersedianya ruang publik yang bebas sebagai sarana untuk mengemukakan pendapat warga masyarakat.
4)     Transparan, pelaksanaan dan pengelolaan institusi diselenggarakan secara terbuka dan tidak ada yang ditutupi dari masyarakat.
5)     Partisipasi, netizen bisa berpartisipasi dalam pembangunan dan pergerakan kotanya.

Dengan media sosial serta dibarengi turunnya bunda Illiza ke ranah twitter, akan membantu pengimplementasian beberapa poin diatas. Netizen bisa mengontrol aktivitas pemimpin dan kebijakannya (control), menyuarakan pendapat dan kreatifitas bagi kemajuan kotanya (demokrasi), terciptanya ruang publik untuk berdiskusi secara rutin (public sphere), pemimpin terbuka dengan masyarakat (transparan), dan dukungan masyarakat dalam segala kebijakan yang diterapkan oleh pemimpin (partisipasi).

Youth, woman dan netizen adalah kunci dari pergerakan sebuah kota” sebut bapak Hermawan Kartadjaya yang dikenal sebagai guru besar marketing dunia pada kunjungannya ke Banda Aceh di tahun 2014. Distribusi usia penduduk Banda Aceh tahun 2014 menurut data.bandaacehkota.go.id menunjukan bahwa penduduk Banda Aceh didominasi usia 14-39 tahun. Rentang usia tersebut juga merupakan rentang usia pengguna media sosial terbanyak. Itulah salah satu alasan kenapa saya ngotot untuk melibatkan partisipasi anak muda, perempuan dan masyarakat internet dalam setiap kebijakan pemimpin sebuah kota. Bayangkan betapa seru dan kerennya kota ini apabila youth, woman dan netizen (individu/komunitas) bersinergi dan bebergerak bersama-sama.

Jangan pernah abaikan youth, woman dan netizen baik itu individu ataupun komunitas di Banda Aceh. Karena berbekal kecintaan mereka terhadap minat dan kota Banda Aceh, selama ini mereka sudah banyak aktif, tidak ragu turun ke lapangan, berkontribusi positif dan mengisi kekurangan-kekurangan yang dilupakan oleh pemerintah kota (Pemko) Banda Aceh dan bunda Illiza selaku pemimpin kota Banda Aceh.

Untuk menutup tulisan ini, izinkan saya menyikapi secara jernih permasalahan tagar #BandaAcehMasukAkal yang menghebohkan jagad media sosial di Banda Aceh belakangan ini melalui sudut pandang dan ketertarikan saya akan media soial:

Pertama, menurut saya wajar apabila masyarakat menumpahkan aspirasi baik itu pendapat hingga kritikan terhadap pemimpin dan kebijakannya yang dirasa belum tepat melalui media sosial. Itu memang peran dari media sosial, dimana semua elemen masyarakat bisa bersuara.

Kedua, tagar #BandaAcehMasukAkal yang sempat menjadi TTI (Trending Topic Indonesia) beberapa kali itu adalah akumulasi suara kekecewaan netizen yang sudah berlalu-lalu dan tidak ada respon positif dari pemimpinnya. Pasti anda tau kalau banyak sekali isu-isu terkait kota Banda Aceh dan Bunda Illiza yang selalu dibicarakan di media sosial, apalagi itu twitter.

Ketiga, meledaknya tagar #BandaAcehMasukAkal bukanlah sesuatu yang dibuat-buat. Trending terjadi apabila adanya loncakan secara signifikan pada sebuah keyword dan diwaktu yang sama. Banyaknya cuitan tentang tagar tersebut pertanda bahwa isu tersebut memang layak dibicarakan, terlepas itu pro dan kontra.

Sekian tulisan saya, semoga bermanfaat dan bisa menjadi solusi bagi Pemko Banda Aceh dalam meningkatkan pelayanan publik (Public Service) melalui Social Media. Harapan besar saya, bunda mau luluh dan membuka hatinya untuk turun ke twitter dan mendengar seluruh keluhan masyarakat kotanya (kalau bunda Illiza memang benar-benar sayang dan peduli) serta menciptakan ruang publik (public sphere) bagi netizen untuk berkumpul dan berdiskusi dengan pemimpinnya secara rutin. Wassalam

1 comment:

  1. Tulisan yang menurut saya bagus.
    Sangat baik untuk dipublikasikan mengingat masih kurangnya pemahaman setiap manusia mengenai betapa pentingnya media sosial sebagai alat komunikasi kebijakan.
    Terus menginspirasi untuk penulis.

    ReplyDelete