"The Power of Social Media is it Forces Necessary Change". Media sosial seharusnya bukan menjadi sebuah ketakutan, tapi dari media sosial banyak perubahan yang bisa dilakukan. Termasuk itu bagi pemimpin yang merasa terpanggil hatinya untuk melakukan perubahan.
Secara umum, media sosial diartikan sebagai media online dimana penggunanya bisa berpartisipasi, berbagi dan menciptakan kontennya masing-masing. Untuk penggunanya, di Indonesia sendiri pengguna media sosial terus berkembang pesat. Salah satu agensi marketing sosial ‘We are Social’ di awal 2015 merilis sebuah laporan tahunan mengenai data jumlah pengguna media sosial di Indonesia dimana Facebook dan Twitter menempati peringkat teratas pengguna social network terbanyak dan Whatsapp menjadi pilihan utama messenger / chat app. Tanpa mengabaikan media sosial lain yang penggunanya terus tumbuh di Indonesia seperti Instagram, Path, Blog, dll.
Entah
apa yang mendasari terus meningkatnya pengguna media sosial di Indonesia. Dari
beberapa orang yang saya temui, mereka berpendapat karena tingginya rasa sosial
masyarakat Indonesia adalah penyebabnya serta beberapa lainnya mengatakan
‘Demokrasi’ yang bisa diartikan sebagai kebebasan berbicara atau partisipasi
warga negara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka menjadi
pemicu realita tersebut (Wikipedia). Hal itu ditambah fakta selarasnya antara
pertumbuhan pengguna internet Indonesia dan dunia juga bisa jadi alasan dibalik
semakin menjamurnya pengguna media sosial di Indonesia.
Dewasa
kini, selain kodratnya sebagai tempat untuk berinteraksi dan berbagi, media
sosial adalah tempat untuk masyarakat internet (netizen) melemparkan suaranya, baik itu secara vertical top-down (memberi informasi, mobilisasi dan mengarahkan
anggota), vertical bottom-up (menyampaikan
pendapat, kritik, saran, harapan) atau horizontal untuk diskusi, bertukar
informasi dan musyawarah. Hingga yang paling klimaksnya adalah media sosial
juga menjadi awal sebuah pergerakan/perlawanan yang bisa disebut ‘Social Media to Social Movement’.
“Social media spark a revelation
that we, the people, have a voice, and through the democratization of content
and ideas we can once again unite around common passions, inspire movements,
and ignite change.” (Brian Solis)
Mengupas
lebih jauh tentang pergerakan/perlawanan di media sosial, kita sudah mendengar
beberapa kasus revolusi media sosial yang terjadi. Mari kilas balik dimana
peran facebook, twitter dan jejaring sosial lainnya di Tunisia dalam memobilisasi
massa untuk turun ke jalan saat penggulingan rezim Ben Ali, Februari 2011. Jangan
lupakan juga negara Big Brother of the
Arab Nations (Saudara Tua Bangsa-Bangsa Arab) yaitu Mesir yang menumpahkan
kekesalannya di akun facebook ‘We are all Khaled Said’ dan juga tagar #jan25 di
twitter. Kedua revolusi media sosial tersebut terjadi akibat dari kemiskinan,
tingginya pengangguran, inflasi harga pangan,dll yang mendera masyarakat.
Dimana pemimpin mereka seketika berubah menjadi penguasa, anti kritik dan
menutup segala akses rakyatnya untuk bersuara, kecuali media sosial.
“Aksi terjun ke lapangan/jalan
adalah tindakan penting bagi sebuah revolusi”, sebut Anita Breur selaku ahli
politik di lembaga Jerman Deutsches Institut fur Entwicklungshilfe (DIE).
Kedua
kasus diatas adalah sedikit cerita dari sekian banyak revolusi social media yang pernah terjadi di
Dunia. Namun faktanya, social media tidak
melulu untuk menggulingkan sebuah takhta, social
media juga menjadi alat (tools) bagi netizen untuk mengadiahi sanksi sosial kepada individu atau
sekelompok orang. Sebab media sosial tidak pernah mengenal batas antara atas
dan bawah, jadi tidak heran masyarakat sipil bisa dengan mudah memberikan
sanksi sosial kepada pemimpinnya baik itu melalui kritikan hingga yang paling
kasar adalah caci-makian.
Melirik
beberapa kasus sanksi sosial di Indonesia yang lahir dari media sosial. Belum
lama ini dan sangat popular ialah saat munculnya tagar #ShameOnYouSBY atas
keputusan presiden RI ke-6 yang mengecewakan netizen Indonesia, atau #Coin4Abott yang sempat memicu perhatian netizen kedua belah negara
(Indonesia-Australia) akibat statement Tony
Abott yang dianggap melukai hati masyarakat Aceh. Hingga yang kocak dan penuh
lelucon adalah #SaveHajiLulung. Ketiga kasus tersebut sempat menjadi trending pembicaraan pengguna media
sosial dan terus berkembang di linimasa twitter.
Saat
media cetak sudah diawasi oleh suatu rezim, maka media sosial adalah tempat
terbaik dimana setiap tingkatan elemen masyarakat bisa bebas bersuara. Jika
dikaji, media sosial bukanlah pemicu aksi protes. Justru yang menyebabkan
protes luas adalah rasa kecewa masyarakat akan pengangguran, kemiskinan dan
korupsi, serta fenomena sosial lainnya. Rasanya tidak ada yang patut
dipersalahkan akan sebuah isu yang trending
bahkan bertahan lama jikalau memang isu tersebut layak untuk dibicarakan. Seperti
halnya iklan yang berseliweran di media sosial, netizen sudah cukup pintar dalam mengambil tindakan untuk menangkap
atau mengabaikan konten yang penting atau tidak penting.
Banyak
pemimpin yang sudah menyadari potensi media sosial sebagai media komunikasi.
Hingga semakin banyak pemerintahan yang sekarang harus mengawasi penggunaan
teknologi informasi dan komunikasi. Bahkan tak heran banyak tokoh pemimpin rela
blusukan ke beberapa lini media sosial, baik itu dikelola langsung atau dibantu
oleh staff demi mengontrol pengguna media sosial yang sekarang kian berani
bersuara untuk mengawasi dan menindas perlawanan politik.
Namun
juga patut diingat, bahwa aksi “social
media to social movement” tidak melulu harus ke arah yang ekstrim, tapi
juga bisa kearah yang positif seperti halnya ‘Sanger Day’ atau Hari Sanger di Aceh yang diperingati setiap
tanggal 12 Oktober. Sanger Day mengajak
pengguna media sosial di Aceh memperkenalkan minuman khas Aceh tersebut secara
luas di media sosial. Serta banyak pergerakan positif lain seperti sosok Nurjannah
Husein yang memanfaatkan media sosial untuk mencari darah bagi penderita
Thalassemia di Aceh.
Media Sosial untuk Pemimpin
Sudah
masuknya kita di era revolusi social
media menjadi sinyal bahwa seorang tokoh/petinggi/pemimpin haruslah berani
terjun ke media sosial, apapun latar belakangnya. Kita bisa melihat bagaimana
media sosial juga memainkan peranan penting dalam sebuah kepemimpinan dan
bagaimana pemimpin menunjukan keterampilannya dalam memanfaatkan peranan media
sosial. Namun tidak jarang, pemimpin menganggap media sosial sebagai media yang
mengancam produktivitas, beresiko, dan sekadar membuang-buang waktu.
1)
The
Leader as Produser
Pemimpin
bisa memanfaatkan media sosial sebagai media untuk membagikan konten-konten
menarik, entah bagi tim, staff,
maupun konsumen. Mereka bisa membagikan aneka konten dalam rupa-rupa media
sosial agar lebih mudah ditangkap oleh audiens. Namun pemimpin dalam hal ini
harus tau betul konsekuensi ketika terjun ke media sosial. Dimana pemimpin
harus memiliki sikap dasar keterbukaan dan kesadaran akan ketidaksempurnaan.
2) The Leader as Distributor
Berperan
sebagai distributor, pemimpin haruslah bisa memahami dinamika lintas platform media sosial. Hal-hal positif
dan membangun kemudian ia sharing-kan
ke banyak pihak melalui kanal-kanal yang ada. Selain itu pemimpin harus bisa
menciptakan dan mempertahankan komunitas followers-nya.
3)
The
Leader as Recipient
Pemimpin
harus bisa menyampaikan pesan-pesan positif melalui reply maupun linking
secara selektif. Selain itu pemimpin harus memiliki skill dalam menyaring tema percakapan tertentu.
4)
The
Leader as Adviser and Orchestrator
Pemimpin
harus bisa menggerakan dan mendukung semua komunitas dan penggunaan media
sosial.
5)
The
Leader as Architect
Pemimpin
sebaiknya memiliki kemampuan untuk mengembangkan media sosial untuk segala
aspek fungsional kepemimpinannya.
6)
The
Leader as Analyst
Pemimpin
sebaiknya bisa melihat secara makro, memantau dinamika industri media sosial.
Selain itu pemimpin juga harus bisa memahami dampak kultural teknologi,
termasuk pada perilaku konsumen.
Enam
poin yang menjadi indikator keterampilan seorang pemimpin di media sosial
tersebut membuktikan bahwa kesalahan besar apabila media sosial hanya dilihat
dari sisi life-style. Sebab bila
dikelola dengan baik, media sosial memiliki banyak manfaat bagi seorang pemimpin.
Walikota
Banda Aceh Hj. Illiza Sa’aduddin Djamal pernah mengatakan bahwa media sosial
seharusnya dimanfaatkan sebagai tempat untuk berdakwah bukan untuk
bergosip/ghibah.
Sejauh
mana pemanfaatan media sosial oleh ibunda Illiza dalam menjalankan dapuk
kepemimpinannya?
Hasil
penelusuran saya, pemimpin kota Banda Aceh yang akrab disapa bunda Illiza oleh netizen hanya resmi terjun ke media
sosial, yaitu Instagram. Bagi yang mengikuti akun Instagram @Illiza_Saaduddin,
anda akan melihat bunda Illiza memanfaatkan Instagram untuk memposting
foto-foto aktivitas yang dijalankannya selaku pemimpin nomor satu kota Banda
Aceh.
Saat
tulisan ini ditulis, pengikut akun Instagram bunda Illiza sudah menembus angka
17.900 followers serta 3403 postingan
foto. Tak heran ratusan like dan puluhan komentar mengampiri setiap postingan
foto beliau. Termasuk itu online shop yang
menyuruh bunda untuk mengecek IG nya “cek IG kita bun”.
Namun
pemimpin kota Banda Aceh tersebut tidak mengikuti jejak sukses walikota Bandung
Ridwan Kamil yang juga sukses terjun ke ranah twitter dan facebook. Beberapa
akun yang mengatasnamakan beliau sudah diklarifikasi bukan sebagai akun resmi
bunda Illiza.
Sejauh
mana efektivitas bunda Illiza memanfaatkan Instagram sebagai media dakwah?
Sesuai
definisinya, Instagram adalah media daring berbagi foto instan. Namun, bisakah
Instagram menjadi tool untuk
berdakwah? Sekaligus menjauhkan terbentuknya kesan riya atau pencitraan?
Sah-sah saja apabila Instagram digunakan sebagai media untuk bunda Illiza
berdakwah asalkan sudah memiliki strategi yang tepat. Salah satunya dengan memposisikan
diri jikalau dia adalah pemimpin sebuah kota, bukan masyarakat biasa.
Dari
sudut pandang saya, bunda Illiza atau siapapun yang mengelola akun Instagram
tersebut masihlah belum efektif memanfaatkan media sosial Instagram untuk
berdakwah. Hal terkecil, lihat saja banyak foto yang tidak dibarengi dengan caption yang mumpuni atau bahkan
seringkali tidak ada. Hal itu sangatlah disayangkan. Foto tanpa caption ibarat kamu hanya memamerkan
sesuatu tanpa mau berinteraksi dengan followers
yang notabene adalah masyarakatmu sendiri. Kesan riya atau pencitraan pun
sulit untuk dielakkan ketika foto di-upload
sedemikian banyak dalam waktu yang sama dan tanpa caption.
Bunda
Illiza juga belum memanfaatkan Instagram sebagai media informatif dalam menyampaikan
program-program yang dijalankan atau persuasif/mengajak followers-nya. Contoh: memberi tahu alasan kenapa Banda Aceh
ditetapkan menjadi kota madani atau Islamic
Cyber City (informatif), mengajak followers-nya
untuk turun bersama-sama bergotong royong menjaga kebersihan kota dari sampah,
mengingatkan followers-nya untuk menjunjung
tinggi nilai Syariat Islam (persuasif), atau menghukum masyarakatnya yang berbuat
salah dengan memberikan sanksi sosial di akun Instagram yang ia miliki.
Bisa
diambil kesimpulan bahwa bunda Illiza hanya memanfaatkan Instagram sebagai
album online untuk menyimpan dan
memamerkan foto. Belum benar-benar dimanfaatkan untuk berdakwah dan sangat
minim sekali melakukan interaksi dua arah kepada pengikutnya. Padahal esensi dari
media sosial untuk pemimpin yang harus tercipta pertama sekali adalah interaksi
dua arah. Disitulah jarak atau batasan antara pemimpin dan masyarakatnya terpangkas.
Sudah
tepatkah keputusan bunda Illiza mengabaikan Twitter dalam menjalankan dapuk
kepemimpinannya ?
Melihat
data di Indonesia, twitter memang masih mengangkangi instagram dalam angka
jumlah pengguna terbanyak. Oleh karena itu juga seharusnya pemimpin berani
terjun ke linimasa media sosial 140 karakter tersebut, termasuk bunda Illiza
selaku walikota Banda Aceh.
Yang
pertama, bagi seorang pemimpin, twitter sangat berguna dalam mendengar aspirasi
masyarakat yang masuk, baik itu informasi, keluhan, kritik, dan saran. Hingga
memantau aktivitas masyarakat kota-nya. Berangkat dari situ, pemimpin juga lebih
mudah mengetahui permasalahan yang terjadi dalam kotanya dan sesegera mungkin
mengambil tindakan. “Jika
diibaratkan, Twitter adalah pesawat”, mungkin seperti itulah peran twitter bagi
walikota Bandung Ridwan Kamil.
Hal
tersebut menjadi lebih baik apabila pemimpin ikut menginstruksikan bagi setiap
lini pemerintahan untuk mengaktifkan twitter. Dengan itu tentu pemimpin akan
lebih mudah mengarahkan masyarakat untuk menyampaikan setiap permasalahan yang
ia temui di kotanya ke akun twitter terkait. Namun ingat, hal itu harus
dibarengi dengan kesiapan menanggapi permasalahan, baik melalui online
terdahulu (merespon mention yang
masuk) hingga langsung terjun ke lapangan untuk menyelesaikan masalah yang ada.
Nah, akan menjadi blunder jika hal itu terjadi sebaliknya. Dari sini kita bisa
melihat manfaat twitter sebagai tempat untuk
pemimpin lebih dekat dengan masyarakat dan mengoptimalkan kualitas pelayanan
publik di setiap lini pemerintahan.
Yang
kedua, jika tadi indikator menurut bunda Illiza media sosial adalah untuk berdakwah,
twitter jauh lebih viral ketimbang
instagram dalam fungsinya sebagai media dakwah. Banyak ustadz yang sering terlihat
di televisi juga ikut berekspansi ke twitter untuk berdakwah. Twitter sangat
berpotensi untuk bunda Illiza berdakwah. Misal: mengingatkan masyarakatnya
untuk menjunjung tinggi nilai Syariat Islam yang berlaku, menjaga kebersihan
dan keindahan kota atau berjualan online
shop di warung kopi (ahaha becanda)
Ketiga,
dengan twitter bunda Illiza bisa ikut berpartisipasi mempromosikan pariwisata
Banda Aceh sebagai World Islamic Tourism,
dan yang paling penting adalah memperkenalkan serta mem-branding konsep kota madani yang ia
terapkan di Banda Aceh. Sebab tidak semua orang bahkan masyarakatnya sendiri
tau apa itu masyarakat madani dan konsep madani seperti apa yang diterapkan
bunda Illiza di kota Banda Aceh.
Keempat,
dengan twitter bunda Illiza selaku pemimpin kota Banda Aceh bisa berinteraksi
secara cepat dan praktis dengan masyarakatnya. Menjaga silaturahmi serta
keakraban dan menghilangkan gap yang
terbentuk antara pemimpin dan masyarakatnya.
Yang
terakhir, akan banyak manfaat lainnya dengan turunnya pemimpin ke ranah twitter
seperti meredam isu-isu yang beredar, transparansi, dan lain-lainya yang
mungkin kita bisa sedikit melirik kesuksesan bapak walikota Bandung, Ridwan
Kamil dalam memainkan peran sebagai tokoh media sosial.
Menarik
kesimpulan, tentu akan lebih baik jika bunda Illiza berani terjun ke jejaring
sosial si burung biru ini, konten yang disampaikan akan lebih cepat menyebar
akibat dari efek viral yang dihasilkan oleh fungsi ‘retweet’. Namun twitter juga akan berdampak sangat buruk jika
tokoh tersebut tidak jeli dan ciamik memainkan keterampilannya di media sosial
Twitter. Seperti efek kritik yang menjadi snow
ball akibat dari keputusan atau kebijakan yang dianggap tidak tepat.
Kebayang
kan bagaimana serunya kalau bunda Illiza memiliki twitter? Bakal kencang tuh
naik followers-nya. Bunda Illiza kan sudah
cukup populer di jagat linimasa twitter. Hehehe.
Media
Sosial dan Fenomena di Banda Aceh
Tulisan
ini berangkat dari pengalaman saya mengelola akun media sosial terbesar di Aceh
selama hampir 3 tahun, terkhusus twitter. Kegelisahan saya melihat banyak
sekali aspirasi netizen masyarakat
kota madani yang ingin menyampaikan aspirasinya, baik itu informasi, pendapat,
ide, saran, keluhan, pujian, ataupun kritik ke pemimpin, tapi tidak benar-benar
bisa tersampaikan ke bunda Illiza.
Bayangkan
saja, bagaimana Anda tidak gelisah saat melihat keluhan netizen soal air PDAM yang tidak mengalir kerumah berhari-hari,
jalan yang berlubang, pembuangan sampah, banjir, balapan liar, pengemis yang
berkeliaran, rusaknya fasilitas publik, hingga isu yang paling bunda senangi
seperti khamar, maisir dan khalwat akan mudah ia temukan dari informasi yang
disampaikan oleh netizen.
Entah
apa alasannya, kenapa pemimpin kota Banda Aceh ini enggan blusukan di linimasa twitter. Ghibah, gosip, membuang-buang
waktu mungkin bisa menjadi alasan. Malah ada yang nyeletuk “Mana mungkin
ibu-ibu main twitter”, sebut seorang teman saya. Yang kemudian memukul logika
terendah saya “bisa jadi, bisa jadi”. Lalu akal sehat saya berontak “Semua
orang bisa jika dia memang berniat peduli dengan masyarakatnya”.
Jika
anda salah satu user yang aktif di
twitter, seluruh cakupan aspirasi yang disampaikan oleh netizen tersebut bukanlah tanpa alasan, melainkan kecintaan dan
kepedulian mereka terhadap kotanya. Keinginan agar pemimpin bisa lebih melek
dengan segala permasalahan yang ada dan secepat mungkin menemukan solusinya. Kurang
beruntung apalagi coba bunda Illiza memiliki masyarakat yang peduli akan
pemimpin dan kotanya?
Tidak
jarang nama bunda Illiza, sapaan kesayangan para netizen selalu dikicaukan tanpa pernah bosan. Bahkan pernah ada netizen kompak menghembuskan tagar
#BundaIlliza yang mana isinya adalah keinginan mereka untuk bunda ikut main
twitter juga seperti mereka. Tapi apa? Hasilnya adalah nihil, ibarat anjing
menggonggong khafilah berlalu.
Bagi
tweetizen di Banda Aceh, Twitter dan
linimasa ini mungkin adalah meja kopi dunia maya. Tidak ada pandang bulu, kita
menikmati kopi yang sama. Oleh karena itu, tweetizen
menginginkan sekali bunda hadir di meja kopinya untuk bisa mendengar seluruh
aspirasi masyarakat kota Banda Aceh.
Melihat
tingginya keinginan netizen kota
Banda Aceh untuk Bunda Illiza mengikuti jejak sukses Ridwan Kamil di Twitter,
sempat memacu saya untuk memperjuangkan aspirasi tersebut. Berkali-kali saya mengirimkan
pesan teks kepada ajudan bunda Illiza, tapi responnya selalu berakhir mengecewakan.
Bahkan ide tersebut sudah saya tulis di sebuah proposal untuk saya paparkan ke
bunda Illiza. Namun keinginan tersebut belum menemui hasil, karena sulitnya
beraudiensi dengan orang nomor satu kota Banda Aceh ini.
Ketika
untuk audiensi sulit dan bersuara di twitter juga tidak terdengar, lalu
masyarakat Banda Aceh harus bagaimana untuk mengadu kepada pemimpin kotanya?
Wajar saja kan masyarakat mengadu kepada pemimpinnya. Dari situlah saya sangat
berharap pemimpin kota Banda Aceh yaitu bunda Illiza untuk mau aktif di media
sosial terkhusus twitter. Dan dari twitter kita bisa mengimplementasikan ‘Social Media to Social Movement’,
menciptakan ruang publik di kota Banda Aceh untuk berdiskusi, bersinergi dengan
pemimpinnya secara rutin. Jadi, planning
hingga controlling kebijakan kota
bisa dilakukan bersama-sama oleh pemimpin dan masyarakat.
Didukung
dengan prestasi Pemko Banda Aceh yang dua tahun berturut memenangi penghargaan
IDSA (Indonesia Digital Society Awards), tahun
2014 dan 2015 yang salah satunya terkait dengan pelayanan publik. Lalu label ‘Banda Aceh Islamic Cyber City” yang
dipatenkan oleh bunda Illiza, menjamurnya pengguna media sosial di Banda Aceh
seharusnya menjadi dasar bunda Illiza untuk go
Twitter. Tunggu apalagi bunda?
Biar
selaras dengan konsep madani yang ditetapkan oleh bunda Illiza, yuk kita bahas
sedikit bagaimana manfaat media sosial terhadap konsep masyarakat madani? Apakah sesuai? Untuk mensinergikan manfaat
media sosial dengan konsep masyarakat madani, mari kita lihat beberapa poin dibawah
ini:
Unsur-unsur pokok yang harus dimiliki
oleh masyarakat madani (Wikipedia) :
1) Kontrol,
adanya kontrol masyarakat dalam pemerintahan.
2) Demokrasi,
menyadari hak-hak dan kewajiban dalam menyuarakan pendapat; pemerintah
memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk
mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya.
3) Public shere, tersedianya ruang publik yang bebas sebagai sarana untuk mengemukakan
pendapat warga masyarakat.
4) Transparan,
pelaksanaan dan pengelolaan institusi diselenggarakan secara terbuka dan tidak
ada yang ditutupi dari masyarakat.
5) Partisipasi, netizen
bisa berpartisipasi dalam pembangunan dan pergerakan kotanya.
Dengan
media sosial serta dibarengi turunnya bunda Illiza ke ranah twitter, akan
membantu pengimplementasian beberapa poin diatas. Netizen bisa mengontrol aktivitas pemimpin dan kebijakannya (control), menyuarakan pendapat dan
kreatifitas bagi kemajuan kotanya (demokrasi), terciptanya ruang publik untuk
berdiskusi secara rutin (public sphere),
pemimpin terbuka dengan masyarakat (transparan), dan dukungan masyarakat dalam
segala kebijakan yang diterapkan oleh pemimpin (partisipasi).
“Youth, woman dan netizen adalah kunci dari pergerakan sebuah kota” sebut bapak
Hermawan Kartadjaya yang dikenal sebagai guru besar marketing dunia pada kunjungannya ke Banda Aceh di tahun 2014. Distribusi usia penduduk Banda Aceh tahun 2014
menurut data.bandaacehkota.go.id menunjukan bahwa penduduk Banda Aceh
didominasi usia 14-39 tahun. Rentang usia tersebut juga merupakan rentang usia pengguna
media sosial terbanyak. Itulah salah satu alasan kenapa saya ngotot untuk melibatkan partisipasi anak
muda, perempuan dan masyarakat internet dalam setiap kebijakan pemimpin sebuah
kota. Bayangkan betapa seru dan kerennya kota ini apabila youth, woman dan netizen (individu/komunitas)
bersinergi dan bebergerak bersama-sama.
Jangan
pernah abaikan youth, woman dan netizen baik itu individu ataupun
komunitas di Banda Aceh. Karena berbekal kecintaan mereka terhadap minat dan
kota Banda Aceh, selama ini mereka sudah banyak aktif, tidak ragu turun ke
lapangan, berkontribusi positif dan mengisi kekurangan-kekurangan yang
dilupakan oleh pemerintah kota (Pemko) Banda Aceh dan bunda Illiza selaku
pemimpin kota Banda Aceh.
Untuk
menutup tulisan ini, izinkan saya menyikapi secara jernih permasalahan tagar
#BandaAcehMasukAkal yang menghebohkan jagad media sosial di Banda Aceh belakangan
ini melalui sudut pandang dan ketertarikan saya akan media soial:
Pertama,
menurut saya wajar apabila masyarakat menumpahkan aspirasi baik itu pendapat
hingga kritikan terhadap pemimpin dan kebijakannya yang dirasa belum tepat
melalui media sosial. Itu memang peran dari media sosial, dimana semua elemen
masyarakat bisa bersuara.
Kedua,
tagar #BandaAcehMasukAkal yang sempat menjadi TTI (Trending Topic Indonesia) beberapa kali itu adalah akumulasi suara
kekecewaan netizen yang sudah berlalu-lalu
dan tidak ada respon positif dari pemimpinnya. Pasti anda tau kalau banyak
sekali isu-isu terkait kota Banda Aceh dan Bunda Illiza yang selalu dibicarakan
di media sosial, apalagi itu twitter.
Ketiga,
meledaknya tagar #BandaAcehMasukAkal bukanlah sesuatu yang dibuat-buat. Trending terjadi apabila adanya loncakan
secara signifikan pada sebuah keyword
dan diwaktu yang sama. Banyaknya cuitan tentang tagar tersebut pertanda bahwa
isu tersebut memang layak dibicarakan, terlepas itu pro dan kontra.
Sekian
tulisan saya, semoga bermanfaat dan bisa menjadi solusi bagi Pemko Banda Aceh
dalam meningkatkan pelayanan publik (Public
Service) melalui Social Media.
Harapan besar saya, bunda mau luluh dan membuka hatinya untuk turun ke twitter
dan mendengar seluruh keluhan masyarakat kotanya (kalau bunda Illiza memang
benar-benar sayang dan peduli) serta menciptakan ruang publik (public sphere) bagi netizen untuk
berkumpul dan berdiskusi dengan pemimpinnya secara rutin. Wassalam
Tulisan yang menurut saya bagus.
ReplyDeleteSangat baik untuk dipublikasikan mengingat masih kurangnya pemahaman setiap manusia mengenai betapa pentingnya media sosial sebagai alat komunikasi kebijakan.
Terus menginspirasi untuk penulis.